Pakaian Petani Eropa

Pakaian Petani Eropa

Otomatisasi dan Penghematan Air bagi Pertanian Masa Depan

To view this video please enable JavaScript, and consider upgrading to a web browser that supports HTML5 video

Gelombang protes petani di seluruh Eropa

Aksi demonstrasi serupa juga merebak di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Protes petani di Belanda bahkan diwarnai aksi kekerasan dan serangan ke privasi para politikus, menyebabkan lumpuhnya kehidupan sehari-hari. Gerakan protes petani di Belanda bahkan memicu didirikannya sebuah partai politik baru berhaluan populis kanan Farmer Citizen Movement (BBB) pada 2019 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para petani di Belgia, Spanyol dan Prancis juga menggelar aksi protes besar-besaran di jalanan, untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap rencana reformasi regulasi lingkungan dan kenaikan ongkos produksi.

Polandia dan negara Eropa timur lainnya juga mengalami gejolak serupa, tapi pemicunya berbeda, para petani memprotes Uni Eropa yang mencabut larangan impor gandum murah dari Ukraina.

Jan Douwe van der Ploeg, pakar sosiologi pertanian dan guru besar emeritus dari Universitas Wageningen di Belanda melihat ada kesamaan alasan dari aksi protes itu: mempertahankan status quo.

"Kecemasan petani mencakup hak untuk terus menggunakan subsidi yang mereka terima sepanjang sejarah atau untuk tetap melanjutkan penggunaan bahan bakar fosil dan pestisida," kata van der Ploeg kepada DW.

Target iklim terancam?

Aksi protes para petani Eropa itu dimonitor dengan cemas oleh markas Uni Eropa di Brussels. Para petinggi UE terutama khawatir, target ambisius iklim yang disahkan sebagai undang-undang oleh Komisi Eropa akan mengalami kemunduran. Uni Eropa menargetkan neraca nol emisi pada 2050. Untuk sektor pertanian, ditambah dengan rencana reduksi penggunaan pestisida kimia hingga 50% sampai 2030.

Menjelang pemilu Uni Eropa yang akan digelar Juni mendatang, banyak yang mencemaskan rencana ambisius itu tidak akan aman lagi, jika nanti Parlemen Eropa bergeser ke kanan.

Marco Contiero, aktivis kampanye iklim Greenpeace di Uni Eropa mengatakan, risiko itu terlihat jelas saat pembahasan alot undang-undang restorasi alam. Undang-undang itu disahkan dengan suara mayoritas tipis oleh Parlemen Eropa tahun lalu, akibat adanya penentangan yang digalang European People's Party yang berhaluan kanan tengah. Partai ini mengklaim mewakili kepentingan para petani, yang menentang rencana konservasi lahan pertanian ke habitat alaminya.

"Antara tahun 2005 hingga 2020, sekitar 5.3 juta pertanian di Uni Eropa bangkrut dan tutup, mayoritasnya pertanian kecil," ujar Contiero mengutip angka lembaga statistik Uni Eropa Eurostat.

"Jumlahnya sepertiga dari seluruh petani di Eropa, yang lenyap akibat masalah keuangan," kata Contiero lebih lanjut. Artinya, memposisikan diri membela sistem yang berlaku saat ini sebagai membela petani adalah kebohongan.

Aksi protes para petani di Eropa memang punya sejarah panjang. "Ada sejumlah gelombang protes besar petani sepanjang abad ke 20, termasuk yang diwarnai kekekerasan," ungkap sosiolog pertanian van der Ploeg kepada DW. Di masa lalu, aksi protes dimotori petani kecil, sementara saat ini, paling tidak di Belanda, banyak petani besar yang terlibat di dalamnya, yang mewakli kepentingan agrobisnis.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Jerman menjadi negara berikutnya di Eropa yang dilanda gelombang protes besar-besaran para petani. Dalam aksi protes selama sepekan hingga Jumat (12/10) sektor pertanian menentang rencana pemotongan subsidi bahan bakar yang akan diterapkan di sektor pertanian.

Konvoi ribuan traktor dan truk memicu kekacauan lalu lintas dan memblokir sejumlah kota besar. Produksi di fasilitas pabrik mobil Volkswagen di kota Emden di utara Jerman mandek total.

Apa keluhan para petani?

Aksi para petani bisa digeneralisasi sebagai protes ketidakpuasan mereka terhadap politik. Namun pemicunya juga spesifik di masing-masing negara. Di Jerman dipicu rencana penghapusan subsidi diesel untuk pertanian, di Spanyol berkorelasi dengan regulasi penghematan air dan di Prancis akibat naiknya biaya irigasi dan bahan bakar fosil serta politik perdagangan Uni Eropa.

Juga tidak bisa dipungkiri, harga pupuk dan bahan bakar melonjak naik setelah invasi Rusia ke Ukraina. Para petani di seluruh Eropa menyebutkan, mereka merasa diperas, saat melihat harga bahan makanan yang lebih mahal di supermarket.

Menurut Anne-Kathrin Meister dari Federasi Generasi Muda Pedesaan Jerman (BDL), pendapatan dari sektor pertanian tidak bisa lagi menutupi kenaikan ongkos produksi. "Jika membandingkan kenaikan harga mesin, pestisida dan pupuk saja, pendapatan tidak pernah meningkat dalam laju kenaikan harga yang sama," ujar Meister yang berasal dari keluarga petani di kawasan Bayern di selatan Jerman, dalam wawancara telefon dengan DW.

"Sektor pertanian tidak menentang reformasi lingkungan, tapi juga mereka memerlukan dukungan," tegas Meister. "Petani menjadi yang pertama terdampak, jika flora dan fauna mengalami kerusakan. Tapi ongkos lingkungan juga harus ikut dihitung pada harga produk, dan konsumen harus siap membayarnya," tambah aktivis muda pedesaan itu.

Target iklim terancam?

Aksi protes para petani Eropa itu dimonitor dengan cemas oleh markas Uni Eropa di Brussels. Para petinggi UE terutama khawatir, target ambisius iklim yang disahkan sebagai undang-undang oleh Komisi Eropa akan mengalami kemunduran. Uni Eropa menargetkan neraca nol emisi pada 2050. Untuk sektor pertanian, ditambah dengan rencana reduksi penggunaan pestisida kimia hingga 50% sampai 2030.

Menjelang pemilu Uni Eropa yang akan digelar Juni mendatang, banyak yang mencemaskan rencana ambisius itu tidak akan aman lagi, jika nanti Parlemen Eropa bergeser ke kanan.

Marco Contiero, aktivis kampanye iklim Greenpeace di Uni Eropa mengatakan, risiko itu terlihat jelas saat pembahasan alot undang-undang restorasi alam. Undang-undang itu disahkan dengan suara mayoritas tipis oleh Parlemen Eropa tahun lalu, akibat adanya penentangan yang digalang European People's Party yang berhaluan kanan tengah. Partai ini mengklaim mewakili kepentingan para petani, yang menentang rencana konservasi lahan pertanian ke habitat alaminya.

"Antara tahun 2005 hingga 2020, sekitar 5.3 juta pertanian di Uni Eropa bangkrut dan tutup, mayoritasnya pertanian kecil," ujar Contiero mengutip angka lembaga statistik Uni Eropa Eurostat.

"Jumlahnya sepertiga dari seluruh petani di Eropa, yang lenyap akibat masalah keuangan," kata Contiero lebih lanjut. Artinya, memposisikan diri membela sistem yang berlaku saat ini sebagai membela petani adalah kebohongan.

Aksi protes para petani di Eropa memang punya sejarah panjang. "Ada sejumlah gelombang protes besar petani sepanjang abad ke 20, termasuk yang diwarnai kekerasan," ungkap sosiolog pertanian van der Ploeg kepada DW. Di masa lalu, aksi protes dimotori petani kecil, sementara saat ini, paling tidak di Belanda, banyak petani besar yang terlibat di dalamnya, yang mewakili kepentingan agrobisnis.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Jakarta (ANTARA) - Eropa pada medio Januari hingga awal Februari 2024 ini terguncang oleh berbagai unjuk rasa yang digerakkan oleh kalangan petani di berbagai negara di benua biru tersebut.

Bu tani dan pak tani di berbagai negara Eropa melakukan aksi protes terutama karena mereka selama ini telah terbebani oleh berbagai hal, mulai dari biaya utang operasional dalam bertani, tekanan dari beragam perusahaan multinasional besar terkait sektor pertanian, dampak cuaca ekstrem, hingga derasnya pangan impor selama bertahun-tahun.

Media asal Jerman, DW, memberitakan bahwa para petani di negaranya melakukan demonstrasi menentang pemotongan subsidi bahan bakar untuk pertanian. Unjuk rasa itu dilakukan para petani dengan membawa ribuan traktor dan truk sehingga mengganggu konektivitas beberapa kota di sana.

Aksi para petani tidak hanya terjadi di Jerman, tetapi juga menyebar hingga ke berbagai negara lain di Eropa seperti Polandia, Belgia, Rumania, Portugal, Spanyol, dan Prancis. Para petani di negara-negara itu menyuarakan ketidakpuasan mereka akan dampak reformasi kebijakan lingkungan dan beban biaya tinggi.

Sementara di Belanda, aksi serupa telah terjadi selama beberapa tahun terakhir ini. Gerakan di Negeri Kincir Angin itu bahkan melahirkan sebuah partai politik yang beraliran populis terhadap keinginan para petani, yaitu partai Gerakan Warga Negara Petani (BBB).

Partai BBB itu dalam pemilu legislatif yang terakhir digelar pada 22 November 2023, berhasil meraih tujuh kursi, dari sebanyak 150 kursi yang diperebutkan di Tweede Kamer der Staten-Generaal atau DPR Belanda.

Menurut media Amerika Serikat, Politico, berbagai unjuk rasa yang memiliki beragam tuntutan di berbagai negara tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu keberatan atas menurunnya kesejahteraan para petani.

Analisis yang dilakukan Politico menunjukkan bagaimana margin keuntungan petani tergerus oleh volatilitas harga tidak hanya pada harga produk mereka, tetapi juga pada biaya produksi pertanian.

Di 11 negara Uni Eropa yang dilakukan analisis, ditemukan bahwa tingkat harga yang dibayarkan kepada petani turun lebih dari 10 persen dari tahun 2022 hingga 2023.

Dari berbagai negara tersebut, ternyata hanya Yunani dan Siprus yang mengalami peningkatan pendapatan penjualan dari petani, yang dibantu oleh lonjakan permintaan atas komoditas minyak zaitun.

Mengancam bisnis petani

Dapat disimpulkan bahwa berbagai keluhan yang dilancarkan petani adalah terkait dengan melonjaknya harga untuk produksi pertanian seperti pupuk dan bahan bakar hingga persaingan pangan impor serta berbagai regulasi dari birokrat yang mengancam bisnis mereka.

Sejumlah penerapan konsep regulasi yang dikeluarkan Uni Eropa, seperti program Green Deal dan Farm to Fork, meski terlihat bagus karena ingin mendorong produksi pangan yang ramah lingkungan sekaligus mengurangi emisi karbon, tetapi dalam penerapannya dapat meningkatkan risiko gulung tikar bisnis para petani.

Media asal Spanyol, El Pais, mengingatkan bahwa ketidakpuasan para petani dapat sangat berdampak kepada pemilihan parlemen Eropa pada Juni mendatang.

Menurut El Pais, di berbagai negara di Eropa, gerakan atau partai politik yang terkait dengan sektor pertanian terdiri atas beragam spektrum politik.

Namun pada saat ini, umumnya para petani, termasuk kepada mereka yang skeptis terhadap Uni Eropa, cenderung masuk pada gerakan populis sayap kanan.

Sejumlah politikus sayap kanan seperti Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini, memuji para petani karena dianggap berani menentang elite Uni Eropa yang berpusat di Brussels.

“Komisi Eropa menarik usulan legislatif mengenai pestisida. Hidup para petani, yang traktornya memaksa Eropa untuk berbalik dari kegilaan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dan sayap kiri!,” tulis Salvini di media sosial.

Pada medio Februari, aksi unjuk rasa petani memang berangsur-angsur mulai mereda, seperti di Prancis setelah Perdana Menteri Gabriel Attal menjanjikan kepada petani bahwa pihaknya akan mendukung regulasi yang pro-swasembada pangan serta akan memperketat arus impor.

Attal menjanjikan bahwa pemerintah Prancis akan berhenti menerapkan regulasi yang lebih ketat yang memberatkan beban para petani.

Tidak hanya di sejumlah pemerintahan sendiri di beberapa negara Eropa, bahkan pihak Uni Eropa sendiri juga mulai mengoreksi kebijakan yang bakal dibuatnya.

Misalnya, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Selasa (7/2) menyatakan bahwa pihaknya akan mencabut rancangan undang-undang tentang pengurangan penggunaan pestisida di Uni Eropa di tengah protes para petani Eropa.

Menurut von der Leyen, usulan Komisi Eropa terkait Peraturan Penggunaan Produk Perlindungan Tanaman Berkelanjutan yang merupakan tujuan yang baik untuk mengurangi risiko produk produksi pabrik kimia, saat ini telah menjadi simbol polarisasi sehingga proposal tersebut perlu ditarik.

Namun, von der Leyen memastikan bahwa topik terkait larangan pengurangan penggunaan pestisida akan tetap dibahas pada masa mendatang, tetapi untuk bergerak maju maka perlu lebih banyak dialog dan pendekatan yang berbeda.

Langkah tersebut merupakan hal yang bijak karena berbagai kebijakan sektor pertanian, tentu saja harus erat melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terkait, terutama para petani.

Hal ini agar berbagai langkah yang sebenarnya bagus guna mengatasi dampak krisis iklim yang semakin parah dari tahun ke tahun, juga dapat diterima dengan baik oleh berbagai kalangan.

Apalagi, rencana Uni Eropa dalam mengatasi dampak perubahan iklim saat ini tengah menyentuh sektor yang sensitif, yaitu bidang pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja.

Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dan seimbang dalam melihat manfaat dan mudarat dari berbagai aspek, terutama terkait mata pencaharian banyak orang.

Uni Eropa juga selama ini telah fokus dalam membangun industri dengan "teknologi bersih", tetapi hal itu juga disadari perlu adanya dukungan dari publik.

Dukungan dari masyarakat penting dalam rangka mencapai sejumlah tujuan seperti agar menjaga negara-negara di Uni Eropa dapat menjaga target sasaran iklim 2030, serta mencapai net-zero emission pada 2050.

Tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan umat manusia kini sangat terancam oleh dampak perubahan iklim.

Kajian yang dilakukan kelompok ilmuwan internasional di World Weather Attribution menyatakan bahwa perubahan iklim adalah penyebab utama dari terjadinya rekor kekeringan di hutan hujan Amazon yang mengakibatkan sejumlah aliran sungai mengering, membunuh spesies terancam, serta membahayakan keberlangsungan kehidupan dari jutaan orang di kawasan tersebut.

Padahal, perlindungan terhadap Amazon sebagai kawasan hutan hujan terluas di dunia sangatlah penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim karena banyak pepohonan yang tersebar luas di Amazon vital untuk menyerap gas rumah kaca.

Di negara tetangga Brasil, Chili, juga baru-baru ini terjadi kebakaran hutan yang meluas dan mengakibatkan sedikitnya 131 warga tewas. Menurut para ilmuwan, kebakaran hutan mahadahsyat itu terjadi karena suhu yang memanas.

Selain itu, menyebarnya api juga karena angin akibat gelombang panas yang disebabkan perubahan iklim dan dampak fenomena El Nino, serta akibat kekeringan yang kerap melanda Chili sekitar 1 dekade terakhir.

Bahkan di Australia, juga pada Januari 2024, mencatat hujan deras yang memicu terjadinya banjir bandang di negara bagian Queensland.

Oleh karena itu, harus disadari pentingnya mengambil langkah mengatasi dampak perubahan iklim. Akan tetapi lebih elok bila pembahasan itu melibatkan berbagai pihak terkait, bukan hanya dilakukan para elite di tempat mewah dengan hanya memakai cara pandang klan atau kelompok tertentu.

Copyright © ANTARA 2024

Liputan6.com, Berlin - Lonjakan protes pertanian dari jalan-jalan Berlin, Jerman, hingga pinggiran Pyrenees mencapai markas besar Uni Eropa pada Rabu (24/1/2024), di mana para petani mengecam segala hal mulai dari campur tangan birokrasi kecil-kecilan hingga momok kebangkrutan dan hal-hal yang lebih buruk lagi.

Dengan visibilitas politik pertanian dan pangan yang menjadi inti dan asal usul Uni Eropa, sektor yang bergejolak ini dapat berubah menjadi isu yang hangat menjelang pemilu Parlemen Eropa pada 6-9 Juni, yang membuat kelompok-kelompok politik tradisional bersikap defensif terhadap partai-partai populis dan sayap kanan yang melihat adanya peluang.

"Kata-kata saya hari ini adalah: kami muak," kata Benoit Laqueue, yang melakukan perjalanan dari pertaniannya di Prancis utara dan dengan marah menunjuk ke gedung Parlemen Eropa, yang membantu menetapkan peraturan pertanian Uni Eropa seperti dilansir AP, Kamis (25/1).

"Masalahnya adalah para teknokrat."

Ini merupakan penolakan yang terdengar di seluruh negara-negara blok yang beranggotakan 27 negara tersebut, karena para petani harus beradaptasi dengan segala hal mulai dari peraturan perubahan iklim dan pencemaran lingkungan hingga perjanjian perdagangan bebas dengan perusahaan pertanian global yang mereka rasa dinegosiasikan secara berlebihan.

Selain Brussels dan Prancis, pada hari Rabu, demonstrasi juga terjadi di Polandia, di mana para petani yang tidak puas mengemudikan traktor mereka dengan lambat di kota-kota besar sebagai protes atas apa yang mereka sebut persaingan tidak adil dari negara tetangganya, Ukraina, yang telah diberikan peraturan ekspor khusus pada masa perang.

Sebagai tanda bahwa gerakan protes meluas di Prancis, penghalang jalan menyebar di banyak wilayah, terjadi sehari setelah seorang petani dan putrinya meninggal ketika sebuah mobil menabrak barikade protes di barat daya. Protes tersebut merupakan tantangan besar pertama bagi Perdana Menteri Gabriel Attal yang baru diangkat, yang mulai menjabat dua minggu lalu.

Attal bertemu dengan perwakilan serikat petani awal pekan ini. Juru bicaranya, Prisca Thevenot, mengatakan pada Rabu bahwa pemerintah akan menanggapi krisis ini dalam beberapa hari mendatang. Pengumuman tersebut diharapkan berfokus pada harga bahan bakar yang lebih rendah bagi petani dan peraturan yang lebih sederhana.

Tiga hal yang perlu Anda ketahui tentang demonstrasi petani Eropa yang meluas ke India

Sumber gambar, Getty Images

Saat ini telah terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh petani di hampir seluruh negara-negara anggota Uni Eropa.

Para petani di Eropa “pesimis dan marah”, menurut presiden Copa-Cogeca, Christiane Lambert, seraya mengatakan telah terjadi protes di 25 dari 27 negara Eropa.

Mereka mewakili 10 juta petani di seluruh blok tersebut, beberapa di antaranya telah membuat ibu kota terhenti dan bentrok dengan polisi.

“Pertama kita mengalami krisis Covid pada tahun 2020. Kemudian harga energi meledak – harga energi sangat penting bagi pertanian,” kata peternak babi asal Prancis tersebut kepada komite Parlemen Eropa.

"Lalu ada perang Rusia terhadap Ukraina yang juga menyebabkan sejumlah kesulitan pada arus perdagangan, serta gangguan [distribusi] di pasar terkait unggas, telur, biji-bijian, minyak – semua ini sangat penting."

Pertanian hanya menyumbang 1,4% dari PDB Uni Eropa, namun mempunyai pengaruh politik yang sangat besar - terutama ketika traktor-traktor menghalangi jalur-jalur penting dan pemilihan Parlemen Eropa dijadwalkan pada bulan Mei.

BBC News Indonesia merangkum tiga hal yang menjadi alasan gelombang demontrasi petani yang meluas ini.

Para petani mengatakan mereka dibebani dengan birokrasi dan dikenakan sanksi yang tidak adil seiring upaya Uni Eropa untuk mengekang emisi karbon, dan beralih ke masa depan yang 'lebih hijau' atau lebih ramah lingkungan – dikenal sebagai Kesepakatan Hijau.

Komisi Eropa, badan eksekutif Uni Eropa, ingin mengurangi emisi berdasarkan tingkat emisi tahun 2015 sebesar 90% pada tahun 2040.

Protes petani ini telah berhasil membatalkan beberapa rencana Uni Eropa, misalnya Komisi Eropa membatalkan proposal untuk mengurangi separuh penggunaan pestisida.

Sumber gambar, Getty Images

Laura Demurtas, staf hubungan eksternal di Club Demeter – sebuah wadah pemikir keamanan pangan yang berbasis di Paris – yang juga mewakili perusahaan industri makanan, mengatakan bahwa "Uni Eropa ingin menjadi pemimpin dalam transisi ramah lingkungan", katanya kepada BBC.

Dia menambahkan bahwa Uni Eropa saat ini menganggap petani sebagai “masalah utama”.

“Bagaimana dengan konsumen dan supermarket serta perannya?”

Namun ini bukan satu-satunya sumber ketegangan.

“Harga produk selalu ditentukan oleh pengusaha yang membelinya, dan kemudian mereka dapat membeli dari negara lain yang tidak mengikuti pembatasan yang sama seperti yang kami lakukan,” kata Joan Mata, petani Spanyol berusia 22 tahun kepada Reuters dalam protes baru-baru ini yang digelar di dekat Barcelona, Spanyol.

Para petani di Polandia dan Hongaria juga mengeluh bahwa Uni Eropa tidak berbuat cukup untuk menghentikan impor pangan murah dari Ukraina.

Di Kota Poznan, Polandia barat, sekelompok besar petani dalam jumlah besar datang mengendarai traktor melintasi kota, awal bulan ini.

Szymon Kosmalski, petani berusia 39 tahun, menyalahkan produk impor karena menurunkan harga hingga tidak mampu menutupi biaya produksi.

Sumber gambar, Kacper Pempel/Reuters

Ukraina adalah produsen biji-bijian terbesar keempat di dunia sebelum invasi Rusia pada tahun 2022. Untuk mendukung negara tersebut, Uni Eropa menurunkan tarif impor – yang menimbulkan kekhawatiran petani lokal.

"Barang-barang tersebut masuk tanpa pengawasan. Kami sangat menentang hal ini dan menganjurkan agar segera kembali menerapkan bea masuk yang berlaku sebelum perang dan mengendalikan barang-barang yang masuk," kata Kosmalski kepada Reuters.

Penolakan ini juga dipengaruhi oleh perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara di luar Uni Eropa, terutama perjanjian yang akan datang dengan blok Mercosur yang terdiri dari Argentina, Brasil, Paraguay, dan Uruguay.

Para petani Uni Eropa mengeklaim negara-negara ini menggunakan hormon pertumbuhan, antibiotik, dan pestisida, yang semuanya dilarang di Uni Eropa.

Gelombang protes petani di seluruh Eropa

Aksi demonstrasi serupa juga merebak di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Protes petani di Belanda bahkan diwarnai aksi kekerasan dan serangan ke privasi para politikus, menyebabkan lumpuhnya kehidupan sehari-hari. Gerakan protes petani di Belanda bahkan memicu didirikannya sebuah partai politik baru berhaluan populis kanan Farmer Citizen Movement (BBB) pada 2019 lalu.

Para petani di Belgia, Spanyol dan Prancis juga menggelar aksi protes besar-besaran di jalanan, untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap rencana reformasi regulasi lingkungan dan kenaikan ongkos produksi.

Polandia dan negara Eropa timur lainnya juga mengalami gejolak serupa, tapi pemicunya berbeda, para petani memprotes Uni Eropa yang mencabut larangan impor gandum murah dari Ukraina.

Jan Douwe van der Ploeg, pakar sosiologi pertanian dan guru besar emeritus dari Universitas Wageningen di Belanda melihat ada kesamaan alasan dari aksi protes itu: mempertahankan status quo.

"Kecemasan petani mencakup hak untuk terus menggunakan subsidi yang mereka terima sepanjang sejarah atau untuk tetap melanjutkan penggunaan bahan bakar fosil dan pestisida," kata van der Ploeg kepada DW.

Semua mata tertuju pada Delhi

Sumber gambar, RAJAT GUPTA/EPA-EFE/REX/Shutterstock

Di India, para petani memiliki permasalahan yang berbeda kendati sama-sama mengakui bahwa mereka terhampat oleh biaya input yang tinggi.

Petani di India meminta harga dasar yang terjamin – dikenal sebagai harga dukungan minimum atau MSP – yang memungkinkan mereka menjual sebagian besar produk mereka di pasar grosir atau mandis yang dikendalikan pemerintah.

Mereka juga menuntut pemerintah memenuhi janjinya untuk melipatgandakan pendapatan pertanian.

Ketika pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mencoba merombak sektor pertanian pada 2020, tenda-tenda yang dihuni petani bermunculan di pinggiran Modi.

Aksi ini berhasil memaksa Modi untuk menunda kebijakan di sektor pertanian setahun kemudian.

Gelombang demontrasi baru-baru ini muncul beberapa bulan sebelum pemilu di India. Dalam pemilu kali ini, Narendra Modi diperkirakan akan memenangkan masa jabatan ketiga.

Sumber gambar, Reuters

Kelompok politik mencoba memanfaatkan demonstrasi petani dan memajukan agenda politik mereka sendiri, kata Patrick Schröder, peneliti senior di lembaga pemikir Chatham House yang berbasis di London.

"Di Jerman, mereka adalah AfD yang berhaluan sayap kanan, namuun untungnya asosiasi petani Jerman menjauhkan diri dari kelompok sayap kanan," ujarnya kepada BBC.

"Kami sekarang juga melihat para penyangkal perubahan iklim terlibat dalam kampanye media sosial terkait dengan slogan 'tak ada petani, 'tak ada pangan'."

Namun, Demurtas lebih skeptis terhadap berbagai kelompok politik yang mencoba mengkooptasi demonstrasi petani di Eropa.

"Protes dimulai di Jerman dan kemudian di Prancis," katanya.

"Ini adalah lingkaran solidaritas di antara para petani yang sudah merasa muak."

"Kelompok sayap kanan ingin kembali ke 10 hingga 20 tahun lalu, tapi bukan itu solusinya. Kita punya satu planet, kita harus bersatu."

Protes petani di Uni Eropa (UE) terkait dua hal utama. Pertama, soal kebijakan lingkungan hidup yang diterapkan oleh 27 negara UE yang semakin membebani petani, seperti Kesepakatan Hijau (Green Deal) dan Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) UE.

Kedua, masuknya gandum dan biji-bijian dari Ukraina ke pasaran negara mereka dengan harga murah.

Baca juga: Petani Uni Eropa Tertekan Aturan Perlindungan Lingkungan

Para petani di Ceko, Slowakia, Polandia, dan sekitar tujuh negara UE lainnya berunjuk rasa di sepanjang perbatasan Ceko pada Jumat (23/2/2024). Mereka memblokade beberapa pintu penyeberangan negara menggunakan traktor.

Tuntutan mereka adalah pengurangan mata rantai birokrasi dan perubahan kebijakan pertanian ramah lingkungan yang diterapkan UE. Selain itu, mereka juga mempersoalkan harga komoditas impor hasil pertanian yang murah.

Para petani mengatakan, pasar menghadapi distorsi dan harga rendah yang disebabkan oleh surplus di tengah murahnya gandum impor dari Ukraina dan produk pertanian dari negara lainnya. ”Kami tidak memprotes UE, kami memprotes keputusan Komisi Eropa yang salah,” kata Andrej Gajdos dari Kamar Pertanian dan Pangan Slowakia.

Komisi Eropa adalah badan eksekutif atau pelaksana kebijakan-kebijakan yang diputuskan Uni Eropa.

Seorang petani (kanan) di depan traktor bertuliskan "Kami di sini untuk memberi makan Anda, jangan mati, berhenti mengganggu kami" di bawah Ombirere di Pelabuhan Vieux (Pelabuhan Tua) dalam demonstrasi petani Perancis menentang kebijakan pertanian di Marseille, Perancis.

Para petani mengeluh bahwa kebijakan lingkungan hidup yang diterapkan oleh 27 negara UE menekan pendapatan mereka dan membuat produk mereka lebih mahal daripada produk impor dari luar UE.

Beberapa aturan itu, antara lain, adalah pembatasan penggunaan bahan kimia dan emisi gas rumah kaca serta penghapusan bantuan pajak untuk bahan bakar diesel yang membuat mereka harus membeli bahan bakar dengan harga lebih mahal.

Para petani mengundang Menteri Pertanian Ceko Marek Vyborny, Menteri Pertanian Slowakia Richard Takac, dan perwakilan petani dari Polandia dan Hongaria untuk berkumpul di Hodonin-Holic, perbatasan Ceko-Slowakia.

Para petani mengeluh, kebijakan lingkungan hidup yang diterapkan oleh 27 negara UE menekan pendapatan mereka dan membuat produk mereka lebih mahal daripada produk impor dari luar UE.

Dewan Pertanian Ceko menyatakan, protes petani di seluruh UE adalah bukti ketentuan Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) UE harus didefinisikan ulang. ”Tugas utama pertanian harus tetap menjamin ketahanan pangan, menghasilkan pangan yang berkualitas dan aman, sekaligus menjaga kelangsungan ekonomi petani,” kata dewan itu dalam sebuah pernyataan bersama.

Kamar Agraria Ceko mengatakan, sebanyak 3.000 traktor ikut serta dalam protes di seluruh wilayah Ceko. Para petani Ceko dan Polandia juga memblokade sebagian persimpangan di perbatasan di sudut timur laut Ceko.

Baca juga: Giliran Petani Spanyol dan Polandia Protes Kebijakan Uni Eropa

Menurut laporan kantor berita Ceko, CTK, perbatasan Reitzenhain, Jerman, di sepanjang bagian barat laut perbatasan Ceko, juga sempat diblokade petani.

Unjuk rasa petani di seluruh Eropa terus meluas di awal tahun 2024, melanda Perancis, Spanyol, Polandia, Jerman, Spanyol, dan Italia. Pada Rabu (21/2/2024), unjuk rasa petani Perancis memblokade jalan raya sepanjang sekitar 70 kilometer di bagian selatan negara itu. Mereka juga membuang produk pertanian mereka di jalanan di Paris.

Seorang petani melemparkan ban ke dalam api saat mereka berkumpul di bundaran sebagai bagian dari protes nasional para petani terhadap kebijakan pertanian di Plouisy, Perancis barat, 20 Februari 2024.

Di Madrid, Spanyol, ribuan petani mengendarai traktor ke pusat kota Madrid. Protes tersebut merupakan yang terbesar yang terjadi di ibu kota Spanyol. Selama dua pekan sebelumnya, protes petani tersebar di sejumlah lokasi di Spanyol.

Baca juga: Petani Belanda Memrotes Kebijakan Pengurangan Emisi

Banyak traktor mengibarkan bendera Spanyol dan beberapa petani membawa spanduk bertuliskan, ”Tidak ada kehidupan tanpa pertanian” dan ”Petani dalam Kepunahan”. ”Dengan aturan sekarang ini, mustahil untuk hidup dari industri perdesaan,” ujar Silvia Ruiz (46), peternak dari wilayah utara-tengah Burgos, Spanyol.

Petani di Spanyol dikabarkan melakukan demonstrasi besar-besaran bahkan sampai memblokade jalan. Protes dilakukan sebagai solidaritas untuk rekan-rekan mereka di Uni Eropa (UE) yang mempersoalkan kondisi pertanian Benua Biru.

Para petani Spanyol disebut memblokir lalu lintas di beberapa jalan raya utama negara itu pada Selasa (6/1). Mereka mengeluhkan tingginya biaya pertanian, kerumitan birokrasi, hingga kerasnya persaingan dari negara-negara non-UE.

"Dengan corak yang berbeda, di seluruh Uni Eropa, kita menghadapi masalah yang sama," ucap Wakil Presiden Agricultural Young Farmers Association (ASAJA), Dinaciano Dujo, dilansir dari Reuters, Selasa (6/2/2024). ASAJA adalah salah satu asosiasi petani terbesar di Spanyol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ASAJA dan asosiasi lainnya telah menyerukan protes sejak Kamis (1/2/2034), namun para petani baru turun ke jalan hari ini. Menggunakan traktor, para petani disebut menyebabkan gangguan lalu lintas di seluruh penjuru Spanyol, mulai dari Seville dan Granada di selatan hingga Girona dekat perbatasan Perancis.

Di Girona, sejumlah traktor terlihat berkumpul menjelang hari protes. Mereka membawa plakat bertuliskan 'tanpa petani tidak ada makanan'. "Pedesaan sudah muak," kata Dujo.

Dujo mengatakan pihaknya menuntut peraturan yang dinilai tidak berpihak kepada petani. Aturan itu dinilai membuat mereka kurang kompetetif dibandingkan para petani di kawasan lain seperti Amerika Latin atau negara-negara di Eropa yang tidak bergabung dengan UE.

Dalam sejumlah hari terakhir, suhu protes diketahui semakin meningkat. Di Perancis dan Belgia, sejumlah petani yang melakukan blokade dikabarkan bentrok dengan polisi.

Apa keluhan para petani?

Aksi para petani bisa digeneralisasi sebagai protes ketidakpuasan mereka terhadap politik. Namun pemicunya juga spesifik di masing-masing negara. Di Jerman dipicu rencana penghapusan subsidi diesel untuk pertanian, di Spanyol berkorelasi dengan regulasi penghematan air dan di Prancis akibat naiknya biaya irigasi dan bahan bakar fosil serta politik perdagangan Uni Eropa.

Juga tidak bisa dipungkiri, harga pupuk dan bahan bakar melonjak naik setelah invasi Rusia ke Ukraina. Para petani di seluruh Eropa menyebutkan, mereka merasa diperas, saat melihat harga bahan makanan yang lebih mahal di supermarket.

Menurut Anne-Kathrin Meister dari Federasi Generasi Muda Pedesaan Jerman (BDL), pendapatan dari sektor pertanian tidak bisa lagi menutupi kenaikan ongkos produksi. "Jika membandingkan kenaikan harga mesin, pestisida dan pupuk saja, pendapatan tidak pernah meningkat dalam laju kenaikan harga yang sama," ujar Meister yang berasal dari keluarga petani di kawasan Bayern di selatan Jerman, dalam wawancara telefon dengan DW.

"Sektor pertanian tidak menentang reformasi lingkungan, tapi juga mereka memerlukan dukungan," tegas Meister. "Petani menjadi yang pertama terdampak, jika flora dan fauna mengalami kerusakan. Tapi ongkos lingkungan juga harus ikut dihitung pada harga produk, dan konsumen harus siap membayarnya," tambah aktivis muda pedesaan itu.